Senin, 02 Mei 2016

Memperteguh Identitas Bangsa Indonesia; Sebuah Prolog Simposium Internasional 2016, Kairo

“Ada saatnya dalam kehidupan engkau ingin sendiri saja bersama angin menceritakan segala rahasia, lalu meneteskan air mata.”
Ir. Soekarno


Agama 

Melihat Indonesia dalam berbagai perspektif, tentunya tidak lepas dari peran agama yang melekat kuat sejak lama. Meminjam istilah Gus Dur, agama sebagai sebuah nilai transenden telah menjadi identitas dalam ‘bernegara-bangsa’. Misalnya, kita lihat pada sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam ruang lingkupnya yang luas, agama juga tidak hanya menjadi asas sekaligus basis kehidupan masyarakat Indonesia sejak awal, tapi juga menjadi karakter alami di mana etika dan spiritualitas dijunjung tinggi yang berpadu dengan ‘budaya ketimuran. Keluhuran ajaran yang terkandung dalam agama merupakan bagian tak terpisahkan dari peradaban dan kebudayaan indonesia.

Indonesia memiliki pengalaman panjang sebagai sebuah tempat pertemuan sejumlah (pemeluk) agama. Lepas dari  konflik dan perdamaian dalam bergama, setidaknya pengalaman tersebut  menjadi sebuah proses dalam pembentukan jati diri Indonesia secara komunal.

Jati diri tersebut berkaitan dengan  bagaimana toleransi masyarakat menyikapi keberagaman (dalam) beragama. Kalaupun kerap ada ‘konflik agama’ yang terjadi di masyarakat ‘akar rumput’, itu hanya sebuah dinamika yang normal. Terkadang  penyebabnya hanyalah tentang informasi ‘tidak lengkap’ yang diterima antara pemeluk agama, atau bisa juga sebab ‘desain politik’ suatu pihak dengan tujuan tertentu. Selain ada unsur ‘pembiaran’, konflik yang terjadi, kadang juga berkaitan dengan politik ‘pengalihan isu’.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata ketika melihat Indonesia saat ini. kita seperti berada di ‘gerbang kekhawatiran’ dengan perkembangan ideologi ekstrem yang disebarkan kaum ‘agamis-fundamentalisme radikal’. Tidak bisa dihindari, fakta dan fenomena ini menciptakan stigma negatif di mata internasional dan mencederai identitas Indonesia yang sesungguhnya; toleran dan humanis.

Sampai hari ini, tidak ada ‘diagnosa’ yang final; kenapa ideologi ekstrem tersebut bisa berkembang di masyarakat Indonesia yang mencintai perdamaian. Namun, ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi alasan utama. Faktor yang tidak hanya soal ‘cara beragama’, tetapi juga berkaitan dengan ‘uang’. Sehingga hal ini begitu sulit dihentikan atau dikembalikan pada kesadaran semula; Bhineka Tungga Ika. Selain itu, juga berhubungan dengan sikap aparatur pemerintah yang ambivalen, bertindak repsesif dan ‘berat sebelah’ ketika menangi masalah ini.

Ekonomi 

“Kehidupan dunia ini dikendalikan oleh dua kekuatan besar; ekonomi dan keimanan (agama). Hanya saja kekuatan ekonomi lebih kuat pengaruhnya dari pada agama.” Bermula dari ucapan Alfred Masrhal ini, kita tidak pernah kehilangan harapan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang sejahtera. Tentu hal ini bergantung pada konsep ekonomi negara yang mapan.

Bagaimana meningkatkan taraf kelayakan hidup masyarakat yang berdampak pada daya saing dalam segala bidang; Bagaimana membantu memenuhi kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan) masyarakat kelas menengah ke bawah sebab berkaitan dengan memberantas kebodohan dan melawan ketertinggalan; Bagaimana membenahi sarana prasarana ekonomi yang berdampak pada terciptanya peluang dan lapangan kerja yang luas. Daftar pertanyaan di atas sudah sepantasnya menjadi prioritas pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Bukan sesuatu yang baru jika kita katakan bahwa beberapa dekade belakangan ini disparitas pembangunan nasional melahirkan kesejahteraan yang tidak seimbang, khusus di daerah pelosok. Pada masa Joko Widodo saat ini, pembangunan daerah sebagai upaya pemerataan kembali digalakkan. Gerakan ini tentu menciptakan optimisme poros perekonomian lintas daerah semakin bergairah, sehingga kesenjangan ekonomi yang menciptakan kecemburuan sosial bisa dihindari.

Identitas dan kebijakan perekonomian Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari sejarahnya: prakolonial sampai pasca demokrasi. Di dunia, paling tidak ada tiga model ekonomi yang biasa dipakai sebagai sistem standar: Sosialis, Kapitalis dan Ekonomi Syariah. Di Indonesia sendiri, masih menjadi perdebatan model ekonomi yang dipakai, serba tidak jelas untuk memberi sebuah penamaan. Sehingga muncul sejumlah istilah ekonomi yang dipakai Indonesia: “ekonomi kerakyatan”, “ekonomi percobaan” dan “ekonomi abu-abu”.

Politik

Tujuan luhur terbentuknya Indonesia sebagai negara bangsa adalah persatuan seluruh seluruh elemen (ras, etnik, agama, dll) tanpa ada batas dan kelas dengan slogan: “berbeda, tapi bersama”. Namun, kadang tujuan tersebut menjadi utopis ketika kita melihat kenyataan  Indonesia hari ini. Harapan untuk bersatu dalam satu tujuan seringkali tidak bisa dicapai. Semua seperti terkotak-kotak dalam ‘ego etnosentrisme’ yang justru menciptakan celah perpecahan dan permusuhan. Masalah klasik disintegrasi NKRI kembali muncul kepermukaan, baik secara alami ataupun disengaja.

Pada prosesnya, Indonesia tidak tercipta sebagaimana Tuhan menciptakan dunia dengan berkata; Kun Fayakun! Indonesia lahir dari narasi sejarah dan perjuangan yang panjang. Sebagai sebuah anak narasi, itulah kenapa Indonesia sampai hari ini tidak bisa jauh dari kompromisasi berbagai kepentingan dan ideologi dari waktu ke waktu. Sehingga dinamika dan dialektika politik yang harusnya berdaulat sebagaimana cita-cita Soekarno, seperti ‘dua kusir pedati yang berdebat’ dengan pengetuan dan kebenaran yang mereka yakini masing-masing.

Kedaulatan sebuah negara tidak hanya terletak pada persoalan ‘batas wilayah’ atapun stabilitas pertahanan, namun lebih kepada kewibawaan negara di mata rakyat dan dunia  dalam mengelola sumber daya alam dan mengatasi berbagai masalah yang terjadi di tingkat nasional maupun internasional, khususnya politik dan hukum.

Bagi Ibnu Taimiyah, Politik adalah cara, bukan sebuah tujuan. Itu sebabnya SIMPOSIUM INTERNASIONAL “Mempertegas Identitas Indonesia di Mata Dunia” Persatuan Pelajar Indonesia se-Dunia (PPID), Kairo 2016 mengangkat wacana ini sebagai salah satu topik. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengenal perpolitikan Indonesia dari sisi sejarah, perkembangan dan posisinya di dunia hari ini. Selebihnya adalah mengaitkan antara kedaulatan bangsa dan konsep negara bangsa dalam  dimensi ontologis-teoritis sampai wilayah praksisnya.

Pendidikan dan Budaya

Salah satu fungsi pendidikan adalah bagaimana melestarikan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya. Upaya ini punya kaitan erat dengan peran lembaga pendidikan formal dan non formal sebagai tempat proses belajar mengajar dan pembentukan karakter sebuah generasi.

Sistem pendidikan formal yang tidak dibarengi dengan struktur lingkungan dan tradisi yang kuat, akan menghasilkan generasi prematur yang tidak berkarakter unggul. Begitu juga sebaliknya, keluhuran tradisi dari sebuah bangsa tidak akan bisa berlanjut secara berkesinambungan ketika hal itu tidak dibarengi dengan sistem dan metode pendidikan yang ‘tepat guna’.

Pendidikan menjadi proses awal penanaman karakter dan identitas kebangsaan yang luhur. Proses ini adalah tahapan pertama bagi sebuah generasi untuk mengenal karakter kebangsaannya sebagai tempat di mana mereka berproses untuk menjadi manusia yang berguna.

Pendidikan ideal mempunyai integrasi antara antara metode ajar dengan kurikulum yang mengakomodir nilai budaya dan tradisi. Bagaimanapun, metodologi dan kurikulum pendidikan yang diadopsi sebuah bangsa akan berpengaruh pada karakter, kebudayaan, paradigma bangsa ke arah yang lebih baik atau sebaliknya.

Tantangan pendidikan di Indonesia bukan hanya soal metode ajar dan kurikulum semata, tetapi juga bagaimana  akses informasi dan kemajuan teknologi yang begitu cepat dan tidak terbendung berdampak pada perubahan karakter sebuah generasi Begitupun poros gerak media yang lebih mengedepankan ‘selera pasar’ seringkali membuat proses pembentukan karakter di lembaga pendidikan menjadi sia-sia, apalagi ketika kita ingat bahwa; "Pendidikan adalah tiket ke masa depan," kata Malik El-Zhabazz.

***

Jadi, untuk membicarakan identitas Indonesia dalam empat perspektif di atas (Agama, Ekonomi, Politik, serta Pendidikan dan Budaya), Persatuan Pelajar Indonesia se-Dunia (PPID) merasa perlu mengadakan SIMPOSIUM INTERNASIONAL 2016 “Memperteguh Identitas Bangsa Indonesia” bulan Juli mendatang di Kairo. Simposium ini bertujuan menghadirkan pemahaman utuh tentang hal tersebut, atau paling tidak sebagai sebuah upaya memikirkan kembali apa yang sebenarnya terjadi selama in demi keteguhan sebuah identitas.***

Mesir, 11 Januari 2016

Rabu, 16 Maret 2011

Agama dah Ketauhidan

Setidaknya secara sederhana, ada 5 hal yang menjadikan agama itu dikatakan benar dan sah menjadi sebuah keyaikinan spiritual ; eksistensi dzat yang disebut Tuhan, penyeru risalah ke-Tuhan-an ( nabi dan Rasul ), sebuah ajaran yang terkodifikasi ( kitab suci ), dimana seorang penyerunya dilahirkan, kemudian keberadaan makam sebagai bukti eksistensinya. Jika salah satu dari ke-5 hal tersebut tidak terpenuhi, maka perlu ada kroscek ulang untuk melegitimasikan sebuah jalan tersebut benar-benar “jalan menuju Tuhan “atau justru kepada “ke-syirikan “.
Dalam Islam kita mengenal Allah, Tuhan yang memiliki ke-Maha-an yang beraneka ragam;Maha Pencipta, Maha Pengsih, Maha Penyayang,Maha pelindung, Maha Penjaga, Maha Agung, Maha Suci, Maha Esa serta 99 ke-Maha-an lainnya, yang terangkum dalam “Al-Asma Al-Hunsa” (nama-nama yang indah bagi Allah ) sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW dalam beberapa riwayat. Keberadaan nama-nama Tuhan ini dan pen-sifat-an yang diyakini oleh kaum muslimin,menjunjukkan akan eksistensi Allah sebagai Tuhan bagi mereka.Nabi Muhammad sebagai pembawa risalahnya dengan kitab suci Al-qur’an sebagai ajaran yang telah terkodifikasi dengan sah dan tanpa ada tahrif ( penyelewengan ) dari isi yang termaktub dalam Al-qur’an ( setidaknya hal itu dibuktikan dengan fakta-fakta valid yang tak terbantahkan tentang ke-asli-an teks Al-qur’an). Keberadaan nabi Muhammad SAW pun sebagai seorang manusia utusan Tuhan dapat terlacak dengan baik, bukti2 fisik dan non fisik dapat kita lihat di sekitar Tanah Makkah dan Madinah, tempat dimana Rasulullah SAW dilahirkan kemudian wafat dan dikuburkan.
Berbeda dengan islam, Kristen sebagai sebuah “system ketaatan” sedikit mengalami distorsi sejarah yang berimbas fatal kepada system ke-Tuhan-an yang mereka percayai. Mereka menganggap bahwa Tuhan Allah mengalami “transformasi” fisik kedalam diri Yesus Kristus ( Nabi Isa AS, dalam kepercayaan islam) dan dilahirkan kedunia untuk memberi petunjuk kepada umat manusia, kemudian menjelma menjadi Ruhul Quds pasca kematian “Tuhan” itu sendiri di tiang salib. Kodifikasi kitab langit yang mereka yakini pun mengalami sejarah panjang yang kompleks. Setidaknya ada 13 Injil yang pernah diketahui eksis di kalanngan agamawan nasrani. Singkatnya, di Nicea ( sekarang Turki ) diselenggarakan konsili nicea pertama yang dihimpunkan oleh Kaisar Romawi Konstantinus Agung pada tahun 325 M, itu merupakan Konsili Ekumenis yang pertama dari Gereja Kristiani, dan hasil utamanya adalah keseragaman dalam doktrin Kristiani, yang disebut Kredo Nicea. Disana disepakatilah oleh para agamawan nasranai ( dengan cara pemungutan suara terbanyak ) bahwa injil yang mempunyai legitimasi hukum di mata gereja adalah injil yang kita kenal saat ini, dan konsekuensinya adalah pemusnahan semua injil-injil yang bertentangan secara doktrin dengan injil yang disepakati. Hal ini menimbulkan ambiguitas doktrin nasrani dikemudian hari yang menyebabkan penyelewengan akidah ke-Tuhan-an secara radikal. Pertanyaannya adalah, apakah lalu doktrin tritunggal yang diyakini oleh kaum nasrani benar-benar absolute untuk diyakini ?.
Ketika menginjak ke ranah agama yang bukan dikategorikan sebagai “ agama langit “( yahudi, nasrani dan islam) kita akan menemukan bahwa ajaran-ajaran yang berkembang disana sesuai dengan pengalaman spiritual si empunya “ajaran”. Hindu contohnya, agama ini masuk dalam kategori politeisme karena memuja banyak dewa. Di antara Dewa-Dewi dalam agama Hindu, yang paling terkenal sebagai suatu konsep adalah: Brahma, Wisnu, Siwa. Mereka disebut Trimurti. Bagi para penganutnya , dewa adalah makhluk suci, makhluk supernatural, penghuni surga, setara dengan malaikat, dan merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Pembawa ajaran yang berasal dari negeri India sekitar tahun 3102 SM sampai 1300 SM ini pun tidak jelas. Secara ontologis kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya dan masih dikenal sebagai ajaran Weda. Agama budha dan konghucu pun secara doktrin ajaran ke-Tuhanan tidak jauh berbeda dengan hindu, yaitu menganut paham politeisme.

Paham ke-Esa-an Tuhan di setiap agama
Jika hanya sekilas kita membaca tentang masing2 ajaran di setiap system kepercayaan ( baca;agama), maka kita seakan tidak menemukan sebuah paham peng-Esaan Tuhan selain pada konsep agama Islam.Namun jika kita perhatikan lebih mendalam, maka kita akan menemukan bahwa di luar islam pun system monoteisme menjadi sebuah acuan, walaupun konsep monoteisme yang mereka bangun tidak cukup mapan untuk bertahan dari kritik-kritik logis para Filsuf dan pencari kebenaran.
Dalam agama Kristen, Tuhan tertinggi adalah Allah yang diakui sebagai Tuhan bapak, kemudian dzat Tuhan bertransformasi menjadi manusia dalam diri Yesus, yang kemudian bertarnsformasi kembali menjadi Holy spirit( Ruh Suci) pasca kematian Yesus. Konsep ini dikenal dengan Tritunggal ( satu adalah tiga, tiga adalah satu ). Bagaimanapun sulitnya pemahaman tentang konsep ini, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Tuhan bapak lah ( baca;Allah ) yang ada pada diri ke-2 dzat tuhan lainnya. Ini berarti ke-3 Tuhan yang diyakini oleh kaum nasrani hakikatnya berporos pada satu zat mutlak, yaitu Tuhan itu sendiri. Jika memang seperti ini, maka Monoteisme ( paham ke-esaan Tuhan ) juga berlaku di ajaran kristiani. Hindu pun demikian, ajaran ini seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa ( Sang Hyang Widi ) tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk. Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
  1. Widhi Tattwa - percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
  2. Atma Tattwa- percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
  3. Karmaphala Tattwa- percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
  4. Punarbhava Tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
  5. Moksa Tattwa- percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
Dari sini kita bisa mengambil konklusi bahwa sebenarnya ajaran tentang ke-Esa-an tuhan tidak mutlak dimonopoli oleh ajaran Islam semata, namun system kepercayaan di luar islam pun memilikinya. Hanya saja, apakah lalu kita mengambil kesimpulan bahwa setiap ajaran agama yang berpaham moneteisme ( dengan segala bentuknya ) benar dan mengantarkan manusia kepada Tuhan itu sendiri ? tentu tidak. Keatauhidan yang ada dalam ajaran islam tidak mengajarkan kepada konsep “transformasi dzat” ( dalam ajaran kristiani ) dan “widi tatwa” ( dalam ajaran hindu ).Islam mengajarkan kepada pensucian mutlak ( Tanzih ) dzat Tuhan dari pelbagai bentuk pengumpamaan makhluk-Nya ( Mukhalafatu Lilhawadist ) dan tidak pula ia dapat bertrasnformasi atau memiliki anak seperti kasus dalam ajaran kristiani. Banyak hujjah dan dalil yang dapat kita sebutkan untung menopang argument ini, salah satu yang paling tegas adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Ikhlas : “ ( Hai Muhammad ), katakanlah : Dialah Allah yang Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia) “. Inilah yang bagi penulis dapat dikatakan sebagai Konsep Monoteisme teragung dan terlogis yang bisa kita pahami dengan akal sehat kita. –Isme tentang ke-Tuhan-an yang berporos pada penghambaan mutlak kepada Sang Pencipta, sekaligus penjaga, perusak ( istilah tugas dari dewa siwa dalam terminology hindu ) , juga sebagai Dzat yang menurunkan “Kalam “ kepada seorang utusan agung Nabi Muhammad SAW untuk menjadi petunjuk bagi segenap umat manusia.Wallahu A’lam

Kamis, 24 Februari 2011

EKONOMI ISLAM “ meretas jalan baru menuju rekonstruksi spiritualitas ekonomi “

Pendahuluan

Islam Sebagai salah satu Agama Samawi yang yang berporos kepada Pandangan Monotheisme, telah berabad-abad lamanya mengklaim dirinya sebagai Agama yang Syamil dan Kaamil, bertolak pada cakupan hukum yang terkandung dalam dua peninggalan terpenting Islam yaitu Al-Qur’an dan Assunnah yang memang tak bisa dibantah memiliki nilai Universalitas pandangan yang unik yang tidak dimiliki oleh Sistem Spiritualitas yang lain ( baca;agama ), mulai dari hal yang terlihat sepele seperti Mengatur pengikutnya tata cara makan dan minum yang baik, cara beristirahat, bermuamalah dengan sesama manusia ( baik Muslim atau non-muslim) sampai aturan-aturan besar berkenaan dengan hubungan internal dalam sebuah komunitas ( baca; Negara ) dan Eksternal dengan komunitas lain. Awalnya Semua Bermula dari sebuah komunitas kecil di kota Madinah ( yang saat itu bernama Yastrib ) yang kemudian merubah kejadulan peradaban dunia saat itu dengan sentuhan tangan dingin Seorang Muhammad SAW pada sekitar abad ke 7 Masehi, seperti yang ditulis oleh salah seorang Cendikiawan Muslim terkemuka Indonesia Prof.Dr.Nurchalis Madjid ( Cak Nur ) dalam bukunya “ Indonesia Kita “, beliau mengatakan Bahwa Negara Madinah (bukan Negara Islam ) yang dipimpin oleh Muhammad SAW memiliki Sistem pelembagaan pertama dan termaju di zamannya, dengan Piagam Madinah Sebagai Magnum Oppus yang melatarbelakangi terciptanya Peradaban baru tersebut yang kemudian disebut Peradaban Islam. Dalam hal politik misalnya, piagam madinah telah menyatukan Masyarakat dari berbagai suku untuk bersatu dalam satu bangsa yaitu bangsa Madinah, mengatur kebebasan beragama, dan menerapkan undang-undang keselamatan seperti hukuman qishas dan membentuk kesatuan politik dalam mempertahankan madinah.

Dalam mengatur transaksi keuangan antar masyarakat madinah saat itu , yang memang terkenal cukup maju, Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi punya caranya sendiri. Sebagai seorang Saudagar Handal, Muhammad SAW tahu betul bagaimana memajukan alur perekonomian di Madinah saat itu. Sistem ekonomi yang dimaksud memang bukan aturan terperinci yang mencakup penerapan-penerapan nilai ekonomi yang beraneka ragam , namun itu adalah sebuah gambaran universal dari asas-asas dan kaidah-kaidah bijak serta nasehat-nasehat Sang Rasul dalam menjalanankan roda ekonomi[1]. walaupun bagi saya tidak bisa dikatakan bahwa itu semua adalah buatan Muhammad SAW sendiri, karena interaksinya dengan berbagai macam individu ( baca; Sahabat ) dan komunitas lain telah mengilhaminya dalam merumuskan beragam sistem yang sangat gemilang tersebut , hal lain adalah ia selalu dibimbing oleh yang mengutusnya yaitu Allah SWT, ( Wamaa yantiqu a’nil hawa, in huwa illa wahyun yuuha ) yang menjadikan segala petuah dan perilakunya begitu sakral di mata pengikutnya .Walhasil Muhammad SAW dengan Negara Madinahnya telah memperkenalkan kepada dunia sebuah rumusan peradaban madani yang berporos kepada nilai-nilai etika, logika, ketuhanan, dan kemanusiaan.

Ekonomi sebagai sebuah harapan

Ekonomi sebagai sebuah ilmu serapan dari filsafat memang telah melahirkan berbagai macam pendapat dan teori tentang bagaimana seharusnya manusia mendapatkan kesejahteraannya. lahirnya paham-paham ekonomi seperti Kapitalisme, Sosialisme dan lain sebagainya tak lain didasari akan sebuah harapan dan mimpi yang sama, yaitu kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dunia, walaupun pada prakteknya terkadang kesejahteraan itu sering dimonopoli oleh orang-orang atau institusi tertentu, entah dalam hal yang paling sederhana seperti keluarga sampai tingkat negara bahkan dunia. Selanjutnya paham Kapitalisme sebagai kiblat ekonomi dunia saat ini dianggap telah gagal mewujudkan harapan kesejahteraan ini dengan alasan yang beraneka ragam, dari sanalah muncul teori ekonomi Islam yang mulai dilirik dan diharapkan mampu mengurai kebuntuan sistem ekonomi dunia saat ini. Walaupun lagi-lagi perlu diperhatikan bahwa ekonomi Islam tumbuh dan mulai berkembang di tengah-tengah raksasa kapitalisme modern yang tentu saja paham itu ikut membumbui dan bahkan meracuni tujuan sesungguhnya ekonomi Islam itu sendiri.

Nilai luhur Ekonomi Islam

Seperti yang disinggung oleh syekh Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Daurul Qiyami Wal Akhlak fil Iqtishadil Islamiyyi bahwa kelebihan dari ekonomi Islam dibandingkan dengan sistem yang lain ialah, karena Islam memiliki nilai-nilai yang saling melengkapi satu sama lain, antara nilai ketuhanan ( Rabbaniyyah ), Etika ( Akhlakiyyah ), Kemanusiaan ( Insaniyyah ) dan kemoderatan ( Wasathiyah)[2]. Keempat unsur ini tidak bisa dipisahkan dan harus berjalan beriringan dalam pelembagaan sistem ekonomi yang madani.

Dalam hal ini nilai ketuhanan mewakili sebuah bentuk penghambaan kepada Pemilik kekuatan agung di jagad raya ini, bahwa segala bentuk pekerjaan yang kita lakukan diperhatikan dan dinilai oleh-Nya, yang ( mungkin ) akan berdampak kepada rasa takut para pelaku ekonomi untuk melakukan hal-hal yang menjadi batasan-batasan agama seperti perilaku riba,korupsi, kolusi,dll yang sudah jelas telah diharamkan dalam Islam.

Nilai etika mendeskripsikan aturan main para pelaku ekonomi terhadap lawan mainnya atau bahkan pada dirinya sendiri. bukankan kesuksesan Muhammad SAW dalam berniaga sebab kejujuran dan etika yang diperlihatkannya ?, bukankah pada awalnya salah satu sebab diterimanya nilai-nilia Islam ke pelosok dunia karena terkesan melihat keramahan para pedagang-pedagang Muslim yang menjajakan dagangannya ?, inilah makna dari sebuah ungkapan bijak “Al-Islamu Risaalatun Akhlakiyyah” (Islam adalah sebuah Pesan keluhuran ). Begitu Sangat pentingnya nilai Etika, sampai hal ini menjadi tujuan utama diutusnya Muhammad SAW ke alam dunia “ dan tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan keluhuran akhlak “.

Yang ketiga adalah nilai kemanusiaan, dalam hal ekonomi kita dapat meletakkan manusia sebagai tujuan ( hadf ) dan juga sebagai perantara ( washilah ) untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dari hanya sekedar keuntungan materi ( walupun bukan berarti menafikan ), namun bagaimana sistem ini mampu mengisi kehampaan spiritualitas dalam diri si pelaku ekonomi. seperti diketahui tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera dengan jalan mempergunakan segala perangkat-perangkat yang mendukung terciptanya kesejahteraan tersebut dan tidak bertentangan dengan nilai Agama, itu berarti tujuan berekonomi dalam Islam bukanlah sebatas memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, namun bagaimana kegiatan ekonomi ini mampu memberikan andil dalam membangun peradaban manusia. Nilai ini akan menjadikan ekonomi bukan sebagai sistem semata, namun sebagai rahmat bagi seluruh manusia, khusunya bagi para dhu’afa dari anak-anak yatim,orang-orang miskin dan semua lapisan masyarakat yang membutuhkan.

Nilai selanjutnya adalah kemoderatan atau dalam bahasa yang lain bisa kita sebut keseimbangan ( balance) yang semestinya terbentuk antara masing-masing kepentingan. Jikalau kita perhatikan paham kapitalisme dan sosialisme, dua paham ekonomi terbesar ini memiliki asas yang saling bersebrangan satu dengan yang lainnya. yang pertama lebih mementingkan aspek individualistic, sehingga dapat digambarkan bahwa pemilik modal ( capital ) adalah penguasa segalanya, sedangkan yang kedua lebih memberikan kekuasaan penuh kepada sulthah atau pemerintah dalam menentukan nasib rakyatnya. Disini sangat terlihat jelas ketimpangan yang terjadi pada masing-masing kubu –isme, Maka ekonomi Islam hadir untuk menyeimbangkan keduanya, sebagaimana Islam mewasiatkan kepada umatnya untuk berlaku seimbang terhadap kepentingan dunia dan akhirat, antara kebutuhan tubuh dan jiwa, antara asupan akal dan hati,dsb[3]. ketika ke-empat point itu mampu bersinergi, maka hal lain yang juga penting adalah person’s ability, dalam hal ini adalah pelaku ekonomi yang harus memiliki mentalitas, keilmuan dan spiritualitas yang mapan, sehingga sistem ini mampu berjalan pada arah dan tujuan yang dicita-citakan Islam.

Penutup

Jika kita kembali ke zaman Rasulullah SAW, yang mana saat itu belum ada sistem ekonomi modern seperti saat ini, maka kita akan mendapatkan sesuatu yang luhur sebagai tujuan utama pergerakan ekonomi masyarakat Islam kala itu. Ekonomi dijadikan sebagai alat perantara untuk menghambakan diri kepada Allah SWT dan bukan tujuan yang utama. Kalaulah rasulullah SAW dan para sahabat bukanlah seorang manusia biasa yang memerlukan makan, minum dan aktifitas kemanusian yang lainnya, atau dalam menyebarkan ketauhidan tidak membutuhkan harta benada, mungkin saja kehidupan mereka hanya terkhususkan untuk menyembah kepada Allah SWT pada siang dan malam mereka, walaupun hal itu memang mustahil jika kita pikirkan saat ini. Namun point terpenting bagi penulis adalah bagaimana menjadikan ekonomi bukan tujuan namun alat menuju kebangkitan spiritualitas yang diharapkan mampu terejawantahkan dalam bentuk nyata agar tercipta peradaban manusia yang benar-benar memanusiakan manusia.Wallahu A’lam



[1] Yusuf Al-Qaradhawi,Daurul Qiyami Wal Akhlak fil Iqtishadil Islamiyyi. Kairo:Maktabah Wahbah,h.14

[2] Ibid, h.27

[3] Ibid,h.83

Sabtu, 22 Desember 2007

Menggagas Islam Inklusif Neo-Moderat




Judul ini Bukanlah upaya penulis untuk mengaku seorang Nabi yang membawa gagasan Islam baru , namun memang harus ada titik balik pemecahan konflik multikuralisme di ranah keagamaan . Gagasan ini memang bukan barang baru dalam wacana diskusi para cendikiawan muslim ataupun nonmuslim, namun penulis mencoba menyederhanakan pemahaman tentang inklusifisme yang terkadang disalahpahami sebagai gagasan sesat yang diajukan untuk mendangkalkan aqidah umat islam dengan bahasa keawaman penulis.

Pemahaman inklusifisme
Inklusifisme berbeda dengan pluralisme yang lebih berani mengatakan bahwa semua agama adalah jalan kebenaran menuju kepada satu kebenaran mutlak , namun paham inklusif tak lebih dari hanya kerendahan hati kita untuk mengakui eksistensi ajaran agama lain, bahwa semua agama dalam batasan duniawi merupakan sebuah pemahaman yang baik dan menganjurkan umatnya untuk melakukan hal-hal yang tidak bertentangan dengan hati nurani, karena bagi penulis, ajaran agama yang tidak sesuai dengan kecocokan hati bukanlah agama. Di Indonesia gagasan ini dikemukakan oleh Cak Nur, seorang guru bangsa yang dengan gagasnnya membawa muridnya ke sejumlah gerbang pemikiran baru tentang keislaman dan kemoderenan .
Gagasan ini berawal dari fakta multikulturalisme dan pluralitas yang memang menjadi sunnatullah, sebagaimana tersebut dalam surah Al-Hujurat:13. Dalam keniscayaan keragaman itulah benih-benih konflik terus mengakar menjadi sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja. Lalu mengapa disebut inklusif ? apakah tidak cukup dengan mengatakan itu sebagai toleransi keagamaan yang sering diajarakan oleh ibu dan bapak Guru sewaktu kita masih duduk di bangku sekolah dasar, lalu apa bedanya ?
Bagi penulis toleransi dan inklusifitas merupakan tema yang sama , yaitu sebuah pengakuan ( bukan persamaan ) kepada eksistensi nilai agama-agama yang lain , karena Jikalau dikaji lebih dalam, secara abstrak semua agama mengakui akan “ ke-Esaan Tuhan “ . Lalu jika kita lihat pemakaian kata toleransi tak terlepas dari kultur melayu yang dahulu hinggap di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia, dan kalaupun sekarang berganti menjadi inklusif itu tak lebih dari banyaknya pembahasaan dari barat yang masuk ke Indonesia. Inklusifisme tidak mengatakan bahwa semua agama adalah benar dalam kemutlakannya, namun semua agama adalah baik dan benar menurut porsi agama itu masing-masing . Islam adalah agama yang benar menurut kitab suci pegangannya, kristen-pun dalam kitab suci pegangannya merupakan agama yang benar, begitu seterusnya. Maka dikenallah istilah "relatifitas kebenaran" , yaitu bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat universal dan mengglobal, karena semua kepala mempunyai pendapatnya masing-masing tentang kebenaran yang diakuinya. Namun perlu diyakini kembali bahwa kebenaran itu adalah mutlak adanya , dan tidak ada 2 kebenaran dalam 2 agama sekaligus, dalam artian bahwa hanya satu agamalah yang paling benar, dan itu tergantung dari keyakinan kita secara Individual. Bagi saya yang lahir dari kultur keislaman yang kuat , saya sangat meyakini bahwa Islam-lah agama yang paling hebat diantara yang lainnya , ditinjau dari sudut pandang pencarian saya, namun saya berbesar hati untuk mengatakan bahwa tidak mustahil bahwa agama lainpun mempunyai nilai kebenaran yang sama, karena saya tidak ingin sok tahu dalam membaca dan memahami pesan Tuhan yang begitu misterius, bisa jadi Allah lebih mencintai kaum nasrani dibandingkan oleh orang muslim , siapa yang menjamin ?

Apa yang diinginkan Inklusifisme ?
Seorang Dosen saya dalam sebuah kesempatan perkuliahan pernah menyampaikan bahwa seorang nonmuslim yang menjalankan agamanya dengan baik lebih beliau hormati daripada seorang muslim yang tidak mengamalkan ajaran agamanya sendiri. Dalam artian , kriteria baik tidaknya seseorang bukan hanya dinilai dari sebuah agama yang dianutnya, namun lebih dari itu semua bagaimana seseorang mengaplikasian nilai-nilai esensial dari sebuah ideology yang dianutnya, Seorang ulama besar Mesir Muhammad Abduh pernah mengutarakan satu perkataan yang begitu terkenal ketika berkunjung ke perancis, beliau mengatakan “ saya melihat Islam di paris namun sedikit umat muslim, namun saya melihat banyak muslim di Mesir tapi sedikit sekali Islam “ .
Sebenarnya ungkapan itu merupakan satu pengkritikan terhadap perilaku Umat Muslim dalam pandangan Abduh yang kurang mengaplikasikan ke-Islamannya, sebagai contoh kecil adalah negara tetangga kita Singapura – walaupun saya belum pernah menginjakkan kaki di negara tersebut – yang mayoritas non Muslim, namun dari cerita teman yang pernah berkunjung kesana, mereka mengisahkan bahwa masyarakat disana sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersihan , sehingga lingkungan disana sangat bersih dan apik, sebaliknya jika kita lihat di negara kita sendiri Indonesia, nilai-nilai itu seakan hanya sebatas teori bijak yang disampaikan dalam forum-forum diskusi semata, padahal Indonesia dengan Mayoritas muslim di dalamnya sangat mengenal sekali Istilah “ Annadzzofatu minal Iman “ yang merupakan hadist Rasululllah SAW. Namun bukan berarti penulis mengklaim bahwa ini berlaku kepada seluruh muslim Indonesia , tapi dari hal kecil itu kita lihat betapa umat non muslim Singapura sangat “Islami” dalam pengamalan ke-duniawian mereka, atau seperti saudara kita di jepang yang mayoritas beragama sinto , mereka sangat menghargai waktu dan merasa sangat merugi bila waktu yang ada disia-siakan begitu saja . Di Indonesia, seperti terlihat di jalanan JABODETABEK setiap harinya yang selalu diganggu oleh para pencari amal sumbangan untuk pembangunan Masjid-masjid di daerahnya, dengan alasan bahwa Islam membuka pintu Sodaqoh Jariyah , terkadang malahan hal itu menjadi sumber penghasilan bagi segelintir orang, dan banyak pula terjadi penyelewengan. Berbeda dengan umat kristiani, mereka lebih terorganisir dalam membangun rumah peribadatan mereka sendiri, walaupun mereka adalah kaum minoritas di negara ini. Lalu apakah kita tidak mau mencontoh mereka , sebab mereka kita anggap adalah orang kafir, dan mengikuti orang kafir berarti kafir pula.
Inklusifisme seperti yang telah dijelaskan diatas merupakan suatu sikap kerendahan hati kita untuk mengakui kebaikan nilai-nilai ajaran agama di luar Islam dalam tataran eksoterik atau keduniawian, bukankah semua agama mengajarkan untuk menjaga kebersihan dan keindahan , bukankah semua agama menghimbau umatnya untuk saling menghargai dan menghormati, terlepas dari adanya paham keagaamaan yang menyuruh pengikutnya untuk bersetubuh dengan lawan jenisnya untuk menyucikan diri misalkan, karena seperti yang saya ungkapkan diawal, bahwa yang disebut ajaran agama adalah yang tidak bertentangan dengan nurani.

Seruan kepada jalan kebenaran
Dalam sebuah ayat Allah Swt berfirman : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Di dalam inklusifitas Islam tidak berarti menafyikan seruan kepada sebuah jalan kebenaran ( Islam ) , namun sifat seruan itulah yang harus kita renungkan. An-Nahl 125 sangat relevan dengan kondisi umat sekarang. Ayat ini hanya memasukkan tiga hal, bukan yang lain: kebijaksanaan, pesan yang baik, dan adu argumentasi. Di dalamnya tidak masuk aksi kekerasan, persekusi, atau upaya pembumihangusan. Semangat inilah yang mestinya dijunjung tinggi oleh siapa pun yang merasa “pemilik” kebenaran. Al-Quran sangat mengagungkan proses dialektika.
Ayat tersebut adalah sindiran bagi kelompok yang sering “mendewakan” aksi fisik. Dengan diskusi tersebut semoga pihak yang hobi main hakim, main geruduk, akan berpikir ulang bahwa aksi mereka tersebut bukanlah cara terbaik.
Ini berarti dalam mengajak seseorang untuk menerima nilai keislaman yang haqiqi, hendaklah tidak dengan jalan pemaksaan , namun Al-qur’an mengajarkan untuk menyeru mereka dengan kebaikan pekerti dan akhlak yang mulia, lalu Al-Qur’an memerintahkan untuk membuktikan kebenaran Islam dengan perdebatan yang baik.
Dalam hal ini , cobalah kita lihat tokoh besar seperti DR.Ahmad Deedat ( alm ) , beliau adalah ahli kristologi afrika selatan, yang mendakwahkan Islam dengan cara yang disebut Al-qur’an sebagai jaadilhum billati hiya Ahsan (Bantahan dengan cara yan baik ) , beliau mengajak ulama-ulama kristiani untuk membuktikan nilai ajaran agama mereka masing-masing . dengan cara itu beliau banyak meyakinkan banyak orang akan kebenaran Islam yang mulia. Atau seperti yang baru-baru ini terjadi di Negara kita dengan munculnya Nabi baru bernama Ahmad Mushaddaiq, yang sebelum pertaubatannya, dia beradu argument terlebih dahulu dengan Salah satu Alim Indonesia tentang kebenaran ajaran yang dibawanya , sehingga pada akhirnya dia mengakui akan kekeliruannya dalam menafsirkan apa yang telah diyakininya .
Selanjutnya Inklusifisme menginginkan agar kita saling bahu membahu dalam memecahkan segala problematika kemanusiaan yang ada dewasa ini , entah itu kemiskinan , kebodohan dan lainnya.
Apakah dengan kita mencaci maki ajaran agama lain, anak-anak miskin Indonesia mampu untuk memperoleh pendidikan yang layak ? , atau dengan kita menjauhi penganut agama lain , rakyat miskin di pelosok pedesaan dan pinggiran kota bisa makan minimal 3 kali dalam sehari ? serta berbagai contoh problematika lainnya.
Inilah yang bagi penulis disebut dengan Kemoderatan baru ( Neo- Moderat ) yang Dengan kita mampu saling membantu dalam hal muamalah itulah dan tanpa mendangkalkan akidah kita sendiri terhadap nilai ajaran yang kita yakini , Insya Allah kita mampu keluar dari krisis multidimensi ini , dan bisa kembali bangkit menatap masa depan Indonesia yang lebih cerah, tanpa banyaknya prasangka buruk yang selalu menghantui jiwa kita . Wallahu A’lam

Rabu, 21 November 2007

Arogansi Kebenaran




Lebaran kali ini memang bagi saya tidak begitu Penting, karena Ramadhan tahun ini saya belum bisa melakukan yang terbaik bagi diri saya untuk merengkuh jutaan nikmat yang konon tersembunyi pada bulan yang satu ini. Begitu banyak ulasan Ramadhan yang sering didongengkan oleh para Alim negeri ini, namun serasa itu semua hanya ulasan biasa yang selalu diulang-ulang setipa tahunnya. Selalu pada setiap kesempatan Ramadhan Para da'imenyetir ayat Al-Baqarah 183; “ Hai orang-orang yang beriman , diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa, seperti yang telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu , agar kamu bertaqwa “ . Penjelasannyapun tidak begitu berbeda dengan dua atau tiga tahun sebelumnya; yaitu agar setelah kita selesai berpuasa, kita telah terbiasa dengan prilaku baik yang kita kerjakan di Bulan Ramadhan, dan intinya agar kita menjadi manusia-manusia yang muttaqin ( Golongan orang-orang yang bertaqwa ).dalam hal ini penulis akui bahwa memang nilai-nilai kebajikan itu harus selalu disampaikan kepada Ummat, untuk mengingatkan kembali Tujuan Ibadah kita di bulan Ramadhan, namun sangat tidak lazim ketika Nilai-nilai yang digembor-gemborkan saat khutbah-khutbah Ramadhan itu serasa tak berbekas ketika Ramadhan akan berakhir.
Sudah beberapa tahun ini, ketika akhir Ramadhan umat Islam di Indonesia di buat terus-terusan bingung oleh para ulama dan umara negeri ini, betapa tidak ! Menentukan Hari Idul fitri jatuh pada tanggal berapa-pun para alim negara ini belum bisa memberikan satu ketegasan . sebagian mengklaim bahwa tanggal 1 syawal yang ditentukan oleh salah satu organisasi masa itu sudah berpijak pada sumber-sumber Al-Qur’an dan Hadist, dtambah lagi dengan teori ilmu pengetahuan yang akurat , namun lagi-lagi kesimpulan teori itu berbeda dengan yang didapat oleh Ormas lainnya yang juga mengklaim bahwa kesimpulan mereka berdasarkan Al-Qur’an dan hadist.
Tanggal 11 Oktober 2007 Kemarin para ahli astronomi sampai Ulama hadist berkumpul di Departemen Agama untuk mengadakan sidang Istbat, sebagai langkah awal penentuan Awal bulan Syawal. Walaupun begitu banyak ahli yang datang saat itu, tetap saja tidak bisa menggerakkan hati masyarakat yang sudah seakan mempunyai keterkaitan bathin oleh satu Ormas Islam untuk mengikuti keputusan yang dikeluarkan oleh Departemen Agama, lalu apa fungsi Institusi Keagamaan tersebut kalau permasalahan ini tidak bisa teratasi ?. tersadar atau tidak sidang istbat yang pastinya memakan waktu dan biaya itu seakan hanya sebatas kumpul-kumpul silaturahmi para alim ulama Indonesia untuk bermaaf-maafan sebelum berakhirnya Ramadhan. Bagi saya Kalau hanya ingin mengetahui Awal bulan syawal-pun anak kecil yang baru belajar puasa bisa menghitung sendiri kapan akan lebaran , malahan dari awal Bulan Ramadhan juga mereka sudah bisa menghitung kapan mereka akan membeli baju baru untuk keperluan Lebaran, hanya perlu menghitung hari selama 29 atau 30 hari .
Namun penulis sadari bahwa penentuan syawal bukan seenteng yang dipikirkan oleh anak kecil, namun ada banyak hal yang lebih kompleks dari sekedar baju baru, yaitu sebuah "keyakinan". Salah satunya mungkin tentang haram tidaknya puasa pada hari yang diyakininya, sebuah contoh yang sederhana, jika ada ormas Islam yang berlebaran pada hari jum’at ,maka secara tidak langsung mereka meyakini bahwa puasa pada hari itu adalah sebuah keharaman, begitupun sebaliknya, ormas Islam yang merayakan lebaran pada hari Sabtu, secara tidak langsung akan meyakini bahwa kelompok yang merayakan Idul fitri pada hari jum’at kurang dalam jumlah puasanya .
Walaupun dalam setiap kesempatan para alim ulama Indonesia sering mengatakan bahwa perbedaan itu jangan dijadikan ajang untuk saling menjatuhkan, namun bagi saya bagaimanapun seseorang menunjukkan wajah kebijaksanaannya dalam hal yang tidak dia yakini, keyakinan itu akan tetap menjadi benih permusuhan yang tumbuh dalam dirinya, dan disadari atau tidak , hal itulah yang membuat kita nantinya akan sungkan atau bahkan enggan untuk menjalin ukhuwah yang lebih erat. Dalam masyarakat Awwam yang cendrung masuk ke dalam ruang lingkup pemikiran Muhammadiyah misalnya, yang membid’ahkan amalan qunut , walaupun dalam bermuamalah dengan warga NU akan terkesan baik-baik saja , namun dalam tataran keyakinan tetap saja mereka akan menyalahkan perilaku tersebut, tentu benih inilah yang akan menjadi “racun ke-ukhuwah-an” diantara kedua kelompok tersebut.
Terkadang saya merasa ragu untuk menangggapi pendapat seorang nasrani yang berkomentar “ Sesama orang Islam Indonesia ngurusin kapan bulan sabit ( awal bulan ) muncul aja ga pernah sama , gmn mau bersatu dengan orang non muslim dalam membangun Indonesia ? “. Perbedaan memang Rahmat, namun jangan jargon itu selalu menjadikan kita selalu berbeda !, Sulit memang bila semua pihak merasa benar dengan argumen dan pendapatnya masing-masing, namun saya yakin bila semua tokoh Islam bisa berendah hati , maka penentuan Awal Syawal tidak kembali terkesan menjadi “symbol perpecahan umat Islam Indonesia “ pada setiap tahunnya, katanya bulan Ramadhan tempat latihan rendah hati dan saling menghargai !, namun Ramadhan belum usaipun kita sudah tidak bisa berendah hati, lalu apa fungsi Ramadhan ? .
Umat Islam Indonesia memang harus dipahami dengan sebuah etika berhukum Islam di Indonesia, sebagai seorang yang bijaksana seharusnya rakyat muslim Indonesia harus menyadari bahwa hukum Fiqih kita bukan Fiqih mazhab semata, namun ada fiqih Negara yang menjadi ijtihad para Ulama muslim di Indonesia, bukankah dalam qaidah Ushuliyah yang biasa ditekankan di pesantren menyatakan bahwa “ Al-Hukmu yataghayyaru bi taghayyuri makan wal zaman “ ketentuan hukum itu akan berubah sesuai dengan perubahan tempat dan zaman !. Dalam penentuan syawal biarlah kita serahkan hal itu kepada Ulama-ulama di tingkat Nasional (baca: Departemen agama), toh kita tidak akan berdosa bilapun ijtihad Ulama kita salah di mata Allah, dan persatuan umatpun akan terjaga, jangan malahan selalu mementingkan pendapat golongannya.Lalu apakah kita ingin menjadi sangat sekuler yang menafyikan peran negara dalam perihal keagamaan kita ?, bahkan dalam hal persatuan umat !, jangan biarkan perihal kebenaran menutup hati kita untuk saling bergandeng tangan, jangan biarkan kebenaran terus menampakkan arogansinya , hingga kita kehilanga akal dan tak mampu berpikir bijaksana dalam menegakkan persatuan. Wallahu a’alam

Rabu, 03 Oktober 2007

Ramadhan dan Refleksi sosial




Puasa pada bulan Ramadhan merupakan satu Tradisi tahunan yang selalu dilakukan oleh umat Islam diseluruh dunia,bukan cuma di Negara Arab sebagai pemegang hak cipta Peradaban Islam namun segenap umat manusia yang merasa dirinya seorang Muslim,maka kewajiban tersebut merupakan mutlak adanya. Lalu mengapa pada bulan Ramadhan saja diwajibkan ibadah puasa !,mengapa di bulan yang lain allah SWT tidak mewajibkan kita umat muslim untuk berpuasa ! tujuan tersembunyi apa yang sedang berlangsung pada bulan yang lain dari pada yang lain ini.
Dalam kalender hijriah terdapat 12 bulan yang dipakai sebagai patokan dalam pergantian tahun,sebagaimana dalam hitungan masehi pun memiliki 12 hitungan bulan dalam menentukan pergantian tahun,dan di dalam bulan-bulan tersebut terdapat beberapa bulan yang mempunyai keistimewaan tersendiri, entah karena bulan itu mempunyai nilai sejarah yang hebat,atau mungkin ada semacam bisikan dari langit yang menganjurkan untuk memuliakan bulan tersebut,bagi umat kristiani bulan Desember merupakan bulan yang sangat ditunggu-tunggu dan dimulyakan oleh mereka,karena konon pada bulan tersebutlah seorang manusia yang mereka anggap titisan tuhan telah dilahirkan kedunia,walaupun kebenaran sejarah tersebut masih menjadi pertanyaan besar yang harus mereka jawab dengan objective.
Di kalangan islam bulan Ramadhanlah waktu yang sangat ditunggu-tunggu dan diagungkan oleh mereka, bahkan mungkin ada yang sampai mengkultuskannya sebagai bulan keramat yang mempunyai nilai mistis yang beraneka ragam, dari cerita tentang kemenangan Rasulullah SAW pada perang Badar kubro sampai hari dimana Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, semua itu ada dan terjadi pada bulan Ramadhan.Konon di bulan inilah Nabi besar Muhammad SAW menerima perintah dari yang maha pencipta Allah SWT untuk melaksanakan ibadah puasa,yang mana tujuan utama yang harus dikejar adalah agar setelah melaksanakan puasa pada bulan tersebut umat Islam dapat sertifikat kenaikan tingkat yaitu menjadi manisia yang bertraqwa.
Bagi penulis, Kenapa bulan Ramadhan yang dijadikan bulan yang istimewa (baca:puasa ) dari bulan-bulan yang lainnya ! alasan yang paling mudah adalah bahwa perintah itu merupakan bisikan dari langit yang harus dipatuhi dengan mutlak,itu berarti jika pada saat nabi Muhammad SAW menerima perintah dari Allah SWT untuk puasa pada bulan muharram misalnya,maka pada hari ini kita akan mengerjakan puasa pada bulan muharram. Namun sejenak mari kita melihat Aspek yang lain dari Ramadhan dengan mengesampingkan pertanyaan mengenai penentuan bulan Istimewa tersebut.
Seperti yang sering kita dengar bahwa tujuan puasa adalah agar kita mendapatkan "sertifikat Taqwa" dari Allah SWT. Yang perlu di garis bawahi adalah nilai ketaqwaan seperti apa yang harus ada dalam diri umat muslim itu sendiri. Apakah hanya taqwa dalam bentuk symbolis belaka ?, ataukah kataqwaan yang mampu memberikan kontribusi bagi lingkungan, masyarakat dan hidupnya !. Ketaqwaan yang bersifat simbolis hanyalah ketaqwaan yang bersifat semu dan cendrung kepada sesuatu yang bersifat lahiriah. Semisal seorang yang menjalani Ibadah Ramadhan, setelah sebelumnya berpakaian yang bergaya metal berganti menjadi seorang yang mencintai sarung,koko,jilbab dan sebagainya yang hanya bersifat lahiriah, namun kepekaan terhadap lingkungan dan masyarakat sekelilingnya masih sangat minim bahkan cendrung acuh tak acuh, lebih parah dari itu,Ramadhan meminjam istilah Ulil absor abdalla " merupakan panggung teater keislaman " yang menampilkan corak keislaman yang dangkal,ya karena di bulan Ramadhanlah banyak umat muslim merubah penampilam mereka dengan symbol-simbol islam seperti terlihat jelas di Infotaiment-infotaiment yang memberitakan artis Ibukota .Namun apakah dengan symbol kesalehan yang penuh dengan kekhusyuan dan kegairahan itu menandakan akan terjadi perubahan total dalam diri mereka dan kedepannya mereka lebih mampu untuk memberikan kontribusi terbaik dalam kehidupan ? jawabannya tanya pada piranti hati kecil kita masing-masing,
Memang hal ini bukan menjadi kecendrunagn mayoritas,namun itu merupakan satu Fenomena yang sangat mengecewakan, dan itu berarti pula ajaran inti dari nilai-nilia keislaman belum merasuk kepada umat Islam secara Kaffah.Yang harus diketahui oleh khayalak muslim adalah bahwa nilai ketaqwaan bukanlah dilihat dari segi lahiriah belaka, berapa banyak para muslim hipokrit yang berbaju ketaqwaan seperti yang dipaparkan oleh penulis diatas namun berhati kesetanan ?
Berbeda dengan seorang muslim yang memahami arti taqwa yang sesungguhnya, mereka tidak mengukur taqwa hanya dengan sesuatu nilai simbolis saja,namun lebih kepada pengejawantahan dari taqwa itu sendiri ke dalam lingkungannya.
Mari kita renungkan bersama ! apakah dengan banyaknya maulid nabi, pengajian-pengajian, tadarus Al-qur’an dan gemuruh Bacaan Tarawih -yang kadang hanya terikan Hampa dan kosong makna- dapat menurukan jumlah kemiskinan ?,atau apakah dengan banyaknya istigosah yang bertaraf nasional yang dihadiri para alim ulama dari seluruh pelosok Indonesia akan menjadikan anak-anak muslim di Indonesia dapat bersekolah dengan layak ? Ada apa sesungguhnya dengan muslim Indonesia ? kemana ruh keislaman yang merupakan bagian terpenting dari keagaman tersebut ? lalu apa yang dapat dilakukan "jasad" keislaman bila ruh dari jasad tersebut hilang ?, tak ada.
Nilai ketaqwaan yang kedua inilah yang mungkin jarang sekali kita sadari akhir-akhir ini,kita lebih sibuk menyiapkan Ramadhan dalam hal-hal yang berbau ritual dan kebiasaan,seperti kesibukan kita untuk menyiapkan baju baru,kue yang banyak dan hal-hal yang terlihat semu, entah Islam jenis apa yang seperti itu,tapi yang pasti itulah Islamku di Indonesia, semoga menjadi perenungan


“Agama bukanlah riuh riang pendarasan keagamaan,namun jauh dari nilai-nilai kemanusiaan,Agama adalah satu Sikap kepasrahan dan ketundukan kepada Khaliq dan mungkin jauh dari keramaian bisingnya pendarasan yang membuat orang yang beragama tersebut lebih bisa merenungi arti hidupnya di tengah-tengah manusia yang lainnya “

Sabtu, 29 September 2007

Kita dan Al-Qur'an

Waktu kau kanak-kanak, Kau laksana kawan sejatiku
Dengan wudhu, aku kau sentuh...
Aku kau pegang, Kau junjung, Kau pelajari Aku Kau baca dengan suara lirih ataupun keras setiap hari.Setelah usai, Kaupun mencium aku mesra

Sekarang Kau Telah dewasa
Nampaknya kau sudah tak berminat lagi padaku

Apakah Aku bacaan usang yang hanya tinggal sejarah?
Menurutmu barangkali aku bacaan yang tidak dapat menambah pengetahuanmu..?
Atau menurutmu Aku hanya untuk anak kecil yang belajar ngaji saja..?

Sekarang Aku Kau simpan rapih sekali
Hingga kadang kau lupa dimana menyimpannya

Aku sudah kau anggap sebagai perhiasan rumahmu
Kadangkala aku dijadikan mas kawin agar kau dianggap bertakwa
Atau aku kau buat penangkal untuk menakuti hantu dan syaitan

Kini aku banyak tersingkir, dibiarkan dalam kesendirian dan kesepian
Diatas lemari, didalam laci aku kau pendamkan

Dulu Pagi-Pagi…Surah-surah yang ada padaku kau baca beberapa halaman
Sore harinya kau baca beramai-ramai bersama temanmu disurau
Sekarang Pagi-pagi sambil minum kopi Kau baca Koran pagi atau nonton berita tv

Waktu senggang kau sempatkan membaca buku karangan manusia
Sedangkan aku yang berisi ayat-ayat yang datang dari Allah
Yang Maha Perkasa, kau campakkan, Kau abaikan dan Kau lupakan

Diperjalanan Kau lebih asik Menikmati musik duniawi
Tidak ada kaset yang berisi ayat Allah
Sepanjang perjalanan, radio selalu tertuju kestasiun radio favoritmu
Aku tau itu bukan stasiun radio yang senantiasa melantunkan ayatku

Dikomputermu,Kau putar musik favoritmu, Jarang sekali kau putar ayat-ayatku
Email temanmu yang ada ayat-ayatku kadang kau abaikan

Bila malam tiba, Kau tahan nonkrong berjam-jam didepan tv
Menonton pertandinagan italic, musik, atau film dan sinetron

Waktu cepat berlalu, Aku semakin kusam dalam lemari
Mengumpul debu dilapisi abu dan mungkin dimakan kutu
Seingatku hanya diawal ramadhan kau membacaku kembali, Itupun hanya beberapa lembar dariku,Dengan suara dan lafadz yang tak semerdu dulu

Apakah Koran, Tv, Radio dapat memberi pertolongan..?
Bila kau dikubur sendirian Sampai kiamat tiba
Kau diperikasa oleh malaikat SuruhanNya
Hanya dengat ayat-ayat Allah yang ada padaku kau dapat selamat melaluinya

Setiap saat berlalu…kuranglah jatah umurmu
Dan akhirnya kubur senantiasa menunggu kedatanganmu
Kau bias kembali kepada tuhanmu sewaktu-waktu
Apakah malaikat mau mengetuk pintu rumahmu..?

Bila kau baca baca selalu, kau hayati, dan k au amalkan
Dikuburmu nanti Aku datang sebagai pemuda gagah
Yang akan membantu kau membela diri
Bukan Koran atau bacaan karangan manusia yang akan membantu
Dari perjalanan dialam akherat.

Tapi Akulah Al-Qurân anakku kitab sucimu yang senantiasa setia menantimu dan melindungimu.
Peganglah aku lagi..bacalah Aku kembali setiap hari
Karna ayat-ayat yang ada padaku adalah ayat suci yang berasal dari Allah SWT
Tuhan yang Maha Mengetahui
Yang disampaikan oleh jibril kepada Muhammad Rasulullah

Sentuhlah Aku kembaliâ
Baca dan pelajari lagi Aku
Setiap datangnya Pagi dan sore hari seperti dulu..dulu sekali
Waktu kau masih kecil lugu dan polos
Jangan Aku kau biarkan sendiri.
Dalam bisu dan sepi
Maha Benar Allah Dengan Segala Firmannya